Pages

Assalamualaikum

Thursday, April 7, 2011

Sutiani [Kemuliaan yang TerPasung di Dusun Pusung]




sedikit orang seperti Sutiani
dan banyak yang tak ingin menjadi Sutiani

aku sendiri,
bila disodorkan opsi,
pasti kan berkata : tak akan pilih kesukaran ini

tapi Tuhan piawai dalam menciptakan satu kondisi
yang ‘menyudutkan’ Sutiani
lari, atau hadapi dengan seikhlas hati

aku sendiri, tak akan sanggup menjadi Sutiani
yang dengan keuletannya mampu membangun pribadi yang mandiri

memang siapa sih, Sutiani ?
yang kupuji tanpa henti ?

ini lho…, Sutiani
sosok Kartini Sejati
yang dihadirkan Kompas sabtu pagi hari
dan coba ku retake dengan style-ku sendiri
selamat menikmati

_______________________________________________________________________

Kompas, Sabtu 26 Maret 2011, Sosok

Air mata tak terbendung lagi, usai membaca artikel tentang Sutiani yang ditulis Dahlia Irawati. Anda sudah membacanya juga kan? Tak apa bila anda lantas tak berkenan melanjutkan membaca tulisanku, karena sungguh dengan segenap ketulusan yang kumiliki, aku hanya ingin menambah ‘gaung’ agar sosok Sutiani, tentu dengan seijinNya, semoga dapat lebih melegenda, dan menginspirasi banyak kepala, terutama mereka yang duduk dengan terhormat di gedung…, maaf, yang mirip dengan kutang wanita berwarna hijau tua.

Sutiani adalah seorang guru yang mengajar di SDN Wonorejo IV, Dusun Pusung, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Bagi seorang guru, mengajar di satu kelas adalah kelumrahan. Namun Sutiani sungguh tidak lumrah! Karena dia mengajar hampir satu sekolahan! Itu terjadi sejak awal dia ditempatkan di sana hingga akhir tahun 2007.

Sebelumnya tidak seorang guru pun yang mau ditugaskan mengajar di SDN Wonorejo IV itu. Alasannya sepele saja. Karena lokasi sekolah yang terletak di pegunungan itu, membuat banyak guru merasa ‘dibuang’ bila ditugaskan di sana. Namun tidak dengan Sutiani. Tugas itu diterimanya dan dijalaninya dengan sabar, tabah, ulet dan ikhlas. Luar biasa!

Membayangkan Sutiani, sungguh membuatku tidak akan mampu menjadi dirinya. Betapa tidak?! Bayangkan saja bila anda harus berjalan kaki, menaklukan tiga bukit di daerah perbukitan Pusung yang kurang subur.

Mengapa harus berjalan kaki? Karena kemiringan bukit-bukit itu yang mencapai 45 derajat, sehingga tidak ada angkutan umum yang mau ‘ngompreng’ ke sana.

Belum lagi paradigma “Pusung” yang bermakna kebodohan. Adakah di antara kau, aku dan kita semua yang mau ‘bedol desa’, migrasi ke sana? Ke sebuah tempat yang disebut orang sebagai dusun kebodohan? Tapi Sutiani mau dan kerasan menjalankan kewajibannya di dusun Pusung itu. Luar biasa!

Yang lebih luar biasa lagi. Sebagai guru, Sutiani tidak pernah berpikir hanya sekedar mengajar saja. Jujurlah, banyak guru yang merasa tugasnya sudah usai, setelah menyampaikan mata pelajaran di kelas. Namun tidak dengan Sutiani.

Selain mengajar, Sutiani juga ‘nggulo wentah’ anak didiknya, mengasuh dan membimbing tanpa pamrih dan tak kenal lelah. Pekikan apa lagi yang bisa kutulis selain dari luar biasa, luar biasa dan luar biasa!

Demi memberi suntikan moril, membangkitkan semangat belajar para siswa, Sutiani akan mengusahakan dirinya untuk datang ke sekolah setiap hari (Ingatlah dengan kondisi berjalan kaki melintasi bukit demi bukit. Bayangkan bila matahari panas membakar ! Atau hujan mengguyur deras !)

Saat ujian sudah dekat, (lagi-lagi) Sutiani rela menginap satu minggu di dusun itu. Untuk apa ? Hanya untuk meningkatkan fokus belajar siswa yang notebene adalah anak-anak petani di sekitarnya. Kalau tidak ‘tilalah’ begitu, orang tua siswa akan lebih memfokuskan panen dan tandur daripada mendorong anaknya belajar supaya lulus ujian.
Dan Sutiani pun bersedia menyediakan seragam inventaris untuk siswa yang terpaksa harus ‘nunut’ ujian di sekolah lain. Mengapa ‘nunut’ ? Karena mengingat jumlah siswa di SDN Wonorejo IV yang terlalu sedikit, makanya ujian pun harus ‘nggabung’.

Untuk apa Sutiani repot-repot menyediakan seragam inventaris itu ? Pernahkah anda berpikir untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada orang lain selain pada anak-anak anda sendiri? Keponakan anda sendiri? Cucu anda sendiri? Pernahkah? Aku sendiri tidak pernah. Tapi Sutiani sampai kepada pemikiran tidak ingin anak didiknya merasa minder akibat ‘nunut’ ujian di sekolah lain. Karena hal itu hanya akan membuat down kepercayaan diri pada siswa sebelum ujian. Intinya, belum perang sudah kalah duluan. Aku dan anda, pernahkah berpikir hal seperti itu untuk orang lain? Adakah guru-guru di sekolah anak-anak anda yang memiliki pemikiran serupa dengan Sutiani ?

Tak hanya itu, Sutiani kok ya sempet-sempetnya mengajari siswa putri berbagai ketrampilan yang paling mendasar bagi bekal kehidupan kelak sebagai manusia dewasa. Melipat dan menyetrika baju! Bahkan aku sebagai seorang ibu akan menyuruh si Mba di rumah untuk melakukan pekerjaan itu daripada repot-repot mengajarkannya kepada putriku sendiri! Dan apa kata Sutiani tentang hal ini? Dia hanya ingin siswa di sekolahnya ‘kaya’, jadi tidak hanya memiliki kecakapan formal, namun juga kepandaian yang lain.

Dan S-E-M-U-A yang telah dilakukan Sutiani dengan senang dan seikhlas hati  … diganjar dengan gaji sebesar Rp 75.000/bulan sejak tahun 1990! Ia bahkan tidak peduli kalau baru tahun ini… tahun 2011, dirinya baru diusulkan mendapat sertifikasi guru, setelah pengabdiannya yang berpuluh tahun itu! Pekikan apa lagi yang anda miliki untuk Sutiani? Aku sih sudah kehabisan kata dan sanjungan…

Jangan salah, Sutiani itu sarjana loh… Adakah sarjana-sarjana yang banyak berlimpah di banyak kota yang memiliki perguruan tinggi, memiliki kepribadian seperti Sutiani ?? Kalau ada, surat kabar-surat kabar tidak akan melaporkan lonjakan jumlah sarjana yang kebingungan mencari lapangan pekerjaan !

Aku menangis !
Menangis pada diriku sendiri yang sempat mengenyam sekolah keguruan namun putar haluan, karena tidak ingin menjadi Sutiani !
Aku menangis !
Menangis untuk diriku sendiri yang tidak bisa menjadi sebuah lembaga, atau institusi, atau politisi, atau seseorang yang punya kendali atas negeri ini, agar seorang Sutiani bisa menjadi cermin bagi bangsaku sendiri !
Dan aku masih menangis, saat diceritakan bahwa saat ini gaji Sutiani sudah mencapai Rp 2,7 juta/bulan.

2.7 juta/bulan! Itu uang jajan gorengan untuk Ibu Melly Dee yang cantik. Itu uang yang tidak akan cukup untuk membeli batu bata bagi pembangunan gedung wakil rakyat kita. Itu uang persenan Lae Gayus bagi sesama temannya di balik jeruji besi… sesama temannya loh ya? bukan para penjaga gerbang, apalagi komandan pasukan, yang pasti milyaran…

Namun itu uang yang amat sangat besar jumlahnya untuk seorang… Sutiani …
Yang tahu caranya mencukupi diri…
Yang faham akan adab bersyukur kepadaNya Sang Maha Memberi...
Yang tak peduli meski pengabdian tak kunjung diakui…
Yang teguh berprinsip pada ketulusan hati,
tak peduli pada puja dan puji dari kami para pemerhati
Yang kukuh menjunjung tinggi kemuliaan hati
Kemuliaan sebagai hamba di hadapanNya Sang Ilahi…


~~~



(aku sangat yakin, Tuhan selalu beri more value pada orang-orang dengan value sperti Sutiani)