Pages

Assalamualaikum

Thursday, March 10, 2011

Thank You For Being... YOU!


Di awal perkenalan kami, aku menelanjangi diri. Tak satupun kututupi. Sungguh ! Bahkan yang terburuk dari sifatku kubeberkan juga. Nekat !

Meski kejujuran terkadang menyakiti. Tapi inilah aku dengan segala keburukanku, kalau kau masih mau, ayo maju, kalau tidak cepatlah ambil langkah seribu.
Begitu awal komunikasiku dengannya, saat hati mulai gelisah dan berkata, ”Ni orang kayanya mau pe-de-ka-te dehh… ”

Aku tidak pernah pacaran. Makanya tidak tahu adab berpacaran… yang beradab ??
Bukan karena malas atau tidak mau melakukannya. Mau sekali, apalagi dengan banyaknya cerpen, novel dan tontonan di televisi yang terus mengkompori. Mungkin standardku terlalu tinggi, sementara aku ‘ora nginguk githok’e dhewe’ Artinya : aku berharap terlalu tinggi tanpa melihat siapa diriku ini. (Bisa jadi ??)

”Jadi, jangan berharap pertemanan antara kau dan aku akan terjadi seindah yang kau bayangkan, ”Aku masih menambahi.

Herannya, pria itu mengiyakan. Alamak !

Aku tidak tahu apa yang dilihatnya dariku hingga borok yang kupamerkan tidak menakutkannya. Padahal selama ini tanpa dipamerkan pun, banyak pria timbang pilih saat hendak mengutarakan hasratnya kepadaku. Karena kecantikan jasmani tidak dikaruniai. Materi tidak dimiliki. Ijasah pun tidak setinggi podium tempat para dosen berdiri. Dan dia bersikukuh tidak lari…  Duhh, Gusti ! (batin sesungguhnya bicara, ”matur suwun Gusti, matur suwun” Hi hi hi…)

Manusia suka sok angkuh menentukan standard akan sesuatu. Seperti kompasianer yang gemar memberi nilai aktual, inspiratif, bermanfaat, dan menarik. Banyak manusia yang juga memandang S2, paras yang rupawan, background keluarga yang mapan adalah sebuah standard. Jadi, maksudnya biarpun aku menyebut diriku jelek, sekolah ngga tinggi, materi ngga punya, tapi mana tahu hatiku terbuat dari berlian 100 karat, begitu??? Weleeh, weleeh, itu sih namanya merendahkan diri meninggikan mutu!

Tunggu dulu! Ya, ya ya aku tahu, memang segala sesuatu harus bernilai, harus ada tolak ukur, harus ada neraca, tapi ini kan lain konteksnya? (kok sewot?!) Aku tengah bicara tentang standard (kalian) yang semua dimilikinya, dan mungkin dia sadar akan hal itu, tapi mengapa dia tidak memilih seseorang yang sama standard dengannya, mengapa aku yang notabene tidak selevel. Dan aku kesal setiap orang bicara mengenai level, standard, karena semuanya dicampur-adukkan untuk hal-hal yang seharusnya dinilai dengan kejernihan nurani. Begitu lho, Bu, Pak, Teman, Saudara-saudara... Padahal Tuhan hanya minta satu saja, keimanan. Wadaouuww…, jadi ngelantur kemana-mana nih.

Benar kata mereka, aku wanita yang WAJIB bersyukur karenanya, wanita yang sangat beruntung mendapatkannya. Keberuntungan yang berjalan hingga ini hari.

Delapan tahun sudah dititi. Janji luhurnya tetap ditepati.
Aku masih tidak mengerti, mengapa anugerah ini kudapati. Engkau sungguh terlalu Baik, Gusti.

Kesabarannya tak tertandingi.
Luapan emosiku yang sering tak terkendali, even just for simply things, ditanggapinya dengan, “Udahlah Maaah, istighfar coba”

Kenakalan dua kanak-kanak penghibur rumah tangga kami pun, dihadapinya dengan amat santai dan berwibawa. “Hayo, Kakak dan Ade, salim… salim… maapan… maapan. Gantian main komputernya, berantem itu perbuatan yang tidak baik. Nanti dicatat sama malaikat Atid lho. Diajarin juga kan di sekolah?

Dan jika amarahku terluapkan karena kenakalan mereka, teguran lembutnya selalu menentramkan. Mah, mah, ngga inget apa ngeluarinnya susah. Sekarang mau dicubitin, dislenthik, dibentak-bentak. Ati-ati lho, kata-kata seorang ibu itu diijabahi Tuhan

Tak hanya itu.
Tangannya selalu ringan menggantikan sebagian pekerjaan rumah tangga yang sedikit lebih menuntut perasaan keringat, seperti ngepel, bersihin kipas angin, nguras bak mandi, nguras toren… itu loh bak penampungan air yang guuedde banget, apa sih namanya, toren kan ?

Dan satu yang amat krusial adalah iman yang tidak hanya di ‘blabber-mouth’ kan saja, tapi seiring dengan tindakan. Dia selalu bangun lebih dulu daripadaku! Sepuluh menit sebelum adzan subuh berkumandang. Langkah kakinya tak terhalang hujan gerimis, menuju masjid tak jauh dari rumah kami. Meski suaranya tak semerdu seorang qori, tapi wajib baginya ayat-ayat suci bergaung di dalam rumah lepas ba’da subuh dan maghrib.
Pernah suatu hari, kutawarkan dengan segenap keihlasan hati, demi Tuhanku Yang Maha Baik, aku jujur berkata, bahkan di awal pernikahan kami, begini, “Pak, silahkan kalau kelak Bapak ingin menikah lagi, aku ikhlas lahir batin. Bagiku, apa yang sudah menjadi firman-Nya, sabda Rasul-Nya, mutlak kuyakini. Asal Bapak ngomong, jangan sembunyi-sembunyi”

“Ngomong apaan sih Mah?, “jawabnya kala itu dengan raut tak suka, sehingga membuatku berpikir dua, ah tiga kali, untuk mengulanginya lagi.


Delapan… yang sungguh amat berartI
Delapan… yang tak henti kusyukuri, hingga nanti…

Jangan iri, karena sejujurnya aku tak enak hati
Aku bukan wanita yang pantas memperoleh itu
Aku bukan teman, tempatnya bisa berbagi kegalauan hati
Aku bukan rival yang penuh tantangan
Aku bukan kekasih yang romantis…
… yang memabukkan dengan kerling menggoda hingga ke alam mimpi
… yang mampu meletupkan gairah di malam hari

Aku cuma punya doa yang kupanjatkan tiap menit, untukmu… Pak
Dan hati yang ikhlas, lapang seluas tujuh samudera di dunia ini, bagi segenap kekurangan yang kau miliki, kini dan nanti…
Mari bersama berucap syukur atas delapan yang diridhai-Nya… (tak apa bila Bapak tidak ingat ini hari Milad Pernikahan kita)



Thank you for your truly love, guidance, patience, understanding
Thank you for being… You!




Banyak cinta dari seorang istri kepada suaminya di hari ulang tahun pernikahannya…
3 Maret 2011 / Rabiul Akhir 1432 H

5 comments:

3c said...

Di Syukuri Mbah Indah
Ketika kita TIDAK meminta dan bersikap manis pada Nya ( dengan bersikap manis pada ciptaan Nya ) maka kadang DIA memberikan kejutan
Semakin kita mencintai Nya semakin cobaan datang menghadang.
Kedalaman Iman berbanding lurus dengan UJIAN
Pengalaman pribadi.com
hahahaha

Beauty Star said...

Eh, Mba Titi, lah kaget aku ada Mba Titi di sini. Matur nuwun nggih, kerso tindak-tindak dateng blog kawula ingkang kosong mlompong...

Pengalaman pribadinya Mba Titi pasti seperti pelangi, penuh warna dan rupa, nampak dari tutur kata yang bijak setiap bicara tentang kehidupan.

Matur nuwun, Mba... Iya saya tak pernah berhenti mensyukuri semua yang DIA beri... sungguh, kadang malah jadi tak enak hati...

3c said...

Sami sami mbak
hahahaha blog ku dhewe wae jek acak2 an Mbak. Maklum memang bukan penulis hihihi. Nulis di blog karena itu pengalaman pribadi aja

Ya, saya pun demikian, saya di berikan kemurahan Nya untuk mengenal Nya itu jauh lebih bernilai bila di bandingkan Nusantara di berikan ke saya mbak hahahaha. Emoh juga andai di ijoli kerajaane Sulaiman. Tetep milih sing pertama hehehe

Gelasan Tiga Saudara said...

Kisah yang menarik dan sangat luar biasa Bu Indah

Beauty Star said...

Terima kasih mas Parta Winata. Telat ya? Better late than never lah... Sori baru baca komengnya. Thanks sudah singgah...

Post a Comment