Pages

Assalamualaikum

Thursday, March 10, 2011

Ibu Ada di Nat-Geo!






Malam kian larut.
Keheningannya berpendar melangut.
Aku terbaring di atas peraduan beralas kain lembut berwarna kuning pias, warna yang amat kupuja.

Beringsut kumiringkan posisiku.
Hingga seluruh berat badanku bertumpu hanya pada siku tangan kiriku.
Sementara telapak tanganku menopang beban kepalaku.
Tangan kananku sibuk menepuk-nepuk bokong bulat padat berisi. Puk… puk… puk… terdengar bunyinya mengikuti alunan yang menggugah jiwa dari sang maestro tautan hati, Yanni, yang berkolaborasi dengan gemericik air dari titian bambu dan berlabuh pada kendang yang bertalu, gubahan sang dewa dambaan jiwa, Kitaro.

Di sampingku terbaring mahluk yang tak terkira rupawan.
Bulu matanya yang lentik, panjang, melengkung keluar, terkatup rapat tak ada celah.
Harum tubuhnya sungguh menggoda. Menggelitik hidung hingga tak henti berkembang-kempis mengendus semerbak aromanya.
Pipinya yang putih lembut, melesak di antara ketiakku.
Bibirnya yang merah tak bosan dibenamkan dalam hangat dan kenyal, buah dadaku.

“Aah!”
“Ck…ck…ck…ck…ck!”
“Hemm… luar biasa!”

Suara separuh menggumam itu, terdengar saling bersusulan.

Perlahan kulepaskan lidahnya yang masih lekat memagut puting susuku. Amat perlahan… agar tak mengusik mimpi indahnya. Sambil berjingkat kutinggalkan dirinya usai terpuaskan dahaganya…

Di ruang tengah, duduk seorang diri, Ibuku tercinta, hanya berteman televisi yang volumenya ditekan hingga level zero, bisu.

“Tumben belum sare, Bu. Liat apaan si, Bu? Kok suaranya berentet seperti petasan orang betawi? “tanyaku sembari kuhampiri beliau.

Ibu masih terpaku menatap layar kaca datar di depannya, masih tanpa suara.

”Ooh… National Geographic. Halah… biasanya juga sinetron, ”kataku lagi sambil mendaratkan pantatku di samping Ibu.

Ternyata Ibu tengah asyik menyaksikan channel National Geographic yang menayangkan keseharian seorang fotografer dalam melakukan tugas-tugas fotografinya. Tentu bukan sembarang fotografer, hingga channel prestisius macam Nat-Geo berkenan menayangkannya sebagai tontonan berkelas dunia. Si fotografer bernama Pete, lengkapnya aku tidak tahu karena tidak mengikuti tayangan itu sejak awal, namun masih kuingat judul acaranya “Inside the White House”. Dan Pete adalah fotografer khusus yang bertugas mengabadikan setiap kegiatan yang dilakukan orang nomor satu di jagat ini, tuan presiden negara adi daya, Barrack Obama. Dari sekedar makan siang dengan kolega, pidatonya di setiap pertemuan, atau kunjungan sosial hingga lawatannya di seluruh negara.

“Pribadi yang andap asor, “Ibu bergumam sendiri saat di layar tivi nampak sang presiden dengan sabarnya bersedia di atur-atur posisinya oleh si fotografer --bahkan masih menyertakan tawa lebarnya yang amat khas-- ketika berfoto bersama dengan seluruh staff yang bertugas di dapur Gedung Putih.

“Tugas menakjubkan, yang tidak semua orang bisa memperolehnya. Orang itu benar-benar beruntung. Hidupnya berisi pengalaman yang tak dimiliki siapapun manusia di dunia ini, “kudengar komentar Ibu keluar dari mulutnya, ketika layar berganti gambar. Kali ini nampak si fotografer yang setengah tertunduk, tersenyum malu, manakala menyadari micro chip yang bersembunyi dalam kameranya tak sanggup lagi memuat memori. Sambil melepas lensa kamera itu, dan memasangkannya lagi di kamera lain yang juga tergantung di lehernya, si fotografer tak henti meminta maaf atas kejadian yang dianggapnya tidak menyenangkan itu.

“Sorry about that, Sir! It never happened before. Sorry about that!, “begitu yang bisa kudengar lamat-lamat dan dari gerak bibirnya. Habis Ibu keukeuh tidak mau menambah volume suaranya sih!

Sang presiden tergelak dan berlagak menegurnya dengan setengah menggoda.

“Kok bisa sih? Di depan National Geographic yang khusus menayangkanmu lagi! Good job, Pete”
Itu saja yang sedikit dapat kucerna, karena teks bahasa Indonesianya tak muncul-muncul juga.

Sempat ku tersipu mendengar ledekan sang presiden, dan kulirik Ibu, seraya tanganku mendekap bantal.

Kini pandanganku utuh beralih ke Ibu.
Menatap mata Ibu yang berbinar penuh kekaguman dan celetuk ucapannya di setiap pergantian gambar. Sorot matanya yang tajam, membuatku semakin menyadari betapa sesungguhnya Ibu memiliki kualitas lebih dibanding ibu-ibu di kampong kami. Ibu tidak seperti Bu Sumpri, Bu Wartam, Bu Wiryo bahkan Bu Doso yang katanya guru merangkap ketua er-te di lingkungan kami.

Ibu tak hanya pencetus ide bagi sebagian besar kegiatan yang pernah dilakukan di kampung kami. Ibu tak hanya motivator bagi POKJA (kelompok kerja) yang dipimpinnya dan berhasil unggul di antara pokja-pokja lain dalam satu er-we!
Ibu yang tak pernah kehabisan ide kreatif di setiap permasalahan yang dihadapinya.
Ibu yang berkata lantang tentang kebersihan di lingkungannya.
Ibu yang tegas berkata, “Stop buang sampah ke kali, bila kalian tak ingin kali menghakimi perbuatan kalian!”
Ibu yang berani merintis kegiatan hadroh (semacam kesenian dengan tetabuhan rebana mengiringi senandung islami) untuk pertama kali di kampung kami.
Ibu yang tak pernah tumbang akan bertubi fitnah dan kecaman dari tetangga yang tak suka melihat kecerdasan Ibu yang deras terpancar bagai air ledeng keluar dari kran.
Ibu yang tak gentar menyeberangi lautan demi memperjuangkan kelayakan bagi kehidupan anak-anak yang telah dilahirkannya…

“Si Sentot wis lali ta?, “suara Ibu membuyarkan lamunanku.

Sampun Bu. Tadi sehabis menyusu setengah jam penuh. Sampe badanku pegel, miring terus, “jawabku sambil buru-buru menutup mulutku yang menguap lebar karena kantuk yang akhirnya tiba.

Ibu beranjak tertatih, agaknya terlalu lama duduk membuat uratnya melintir, atau tulang sepuhnya yang menjerit ngilu. Dibukanya sejenak pintu kamarku, selimut Sentot yang tersingkap dirapikan. Sempat kulihat senyum simpul di bibirnya yang berwarna keunguan, melihat betis gempal Sentot tersembul seperti batang singkong yang dikupas kulitnya.

”Sugeng sare, Bu. Istirahat, ”aku berkata.

Ibu tidak menjawab, hanya bergumam sesuatu seperti dengung keletihan yang kali ini tidak disembunyikan, kemudian melenggang dan menutup rapat pintu kamarnya…

0 comments:

Post a Comment