Pages

Assalamualaikum

Thursday, April 7, 2011

Sutiani [Kemuliaan yang TerPasung di Dusun Pusung]




sedikit orang seperti Sutiani
dan banyak yang tak ingin menjadi Sutiani

aku sendiri,
bila disodorkan opsi,
pasti kan berkata : tak akan pilih kesukaran ini

tapi Tuhan piawai dalam menciptakan satu kondisi
yang ‘menyudutkan’ Sutiani
lari, atau hadapi dengan seikhlas hati

aku sendiri, tak akan sanggup menjadi Sutiani
yang dengan keuletannya mampu membangun pribadi yang mandiri

memang siapa sih, Sutiani ?
yang kupuji tanpa henti ?

ini lho…, Sutiani
sosok Kartini Sejati
yang dihadirkan Kompas sabtu pagi hari
dan coba ku retake dengan style-ku sendiri
selamat menikmati

_______________________________________________________________________

Kompas, Sabtu 26 Maret 2011, Sosok

Air mata tak terbendung lagi, usai membaca artikel tentang Sutiani yang ditulis Dahlia Irawati. Anda sudah membacanya juga kan? Tak apa bila anda lantas tak berkenan melanjutkan membaca tulisanku, karena sungguh dengan segenap ketulusan yang kumiliki, aku hanya ingin menambah ‘gaung’ agar sosok Sutiani, tentu dengan seijinNya, semoga dapat lebih melegenda, dan menginspirasi banyak kepala, terutama mereka yang duduk dengan terhormat di gedung…, maaf, yang mirip dengan kutang wanita berwarna hijau tua.

Sutiani adalah seorang guru yang mengajar di SDN Wonorejo IV, Dusun Pusung, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Bagi seorang guru, mengajar di satu kelas adalah kelumrahan. Namun Sutiani sungguh tidak lumrah! Karena dia mengajar hampir satu sekolahan! Itu terjadi sejak awal dia ditempatkan di sana hingga akhir tahun 2007.

Sebelumnya tidak seorang guru pun yang mau ditugaskan mengajar di SDN Wonorejo IV itu. Alasannya sepele saja. Karena lokasi sekolah yang terletak di pegunungan itu, membuat banyak guru merasa ‘dibuang’ bila ditugaskan di sana. Namun tidak dengan Sutiani. Tugas itu diterimanya dan dijalaninya dengan sabar, tabah, ulet dan ikhlas. Luar biasa!

Membayangkan Sutiani, sungguh membuatku tidak akan mampu menjadi dirinya. Betapa tidak?! Bayangkan saja bila anda harus berjalan kaki, menaklukan tiga bukit di daerah perbukitan Pusung yang kurang subur.

Mengapa harus berjalan kaki? Karena kemiringan bukit-bukit itu yang mencapai 45 derajat, sehingga tidak ada angkutan umum yang mau ‘ngompreng’ ke sana.

Belum lagi paradigma “Pusung” yang bermakna kebodohan. Adakah di antara kau, aku dan kita semua yang mau ‘bedol desa’, migrasi ke sana? Ke sebuah tempat yang disebut orang sebagai dusun kebodohan? Tapi Sutiani mau dan kerasan menjalankan kewajibannya di dusun Pusung itu. Luar biasa!

Yang lebih luar biasa lagi. Sebagai guru, Sutiani tidak pernah berpikir hanya sekedar mengajar saja. Jujurlah, banyak guru yang merasa tugasnya sudah usai, setelah menyampaikan mata pelajaran di kelas. Namun tidak dengan Sutiani.

Selain mengajar, Sutiani juga ‘nggulo wentah’ anak didiknya, mengasuh dan membimbing tanpa pamrih dan tak kenal lelah. Pekikan apa lagi yang bisa kutulis selain dari luar biasa, luar biasa dan luar biasa!

Demi memberi suntikan moril, membangkitkan semangat belajar para siswa, Sutiani akan mengusahakan dirinya untuk datang ke sekolah setiap hari (Ingatlah dengan kondisi berjalan kaki melintasi bukit demi bukit. Bayangkan bila matahari panas membakar ! Atau hujan mengguyur deras !)

Saat ujian sudah dekat, (lagi-lagi) Sutiani rela menginap satu minggu di dusun itu. Untuk apa ? Hanya untuk meningkatkan fokus belajar siswa yang notebene adalah anak-anak petani di sekitarnya. Kalau tidak ‘tilalah’ begitu, orang tua siswa akan lebih memfokuskan panen dan tandur daripada mendorong anaknya belajar supaya lulus ujian.
Dan Sutiani pun bersedia menyediakan seragam inventaris untuk siswa yang terpaksa harus ‘nunut’ ujian di sekolah lain. Mengapa ‘nunut’ ? Karena mengingat jumlah siswa di SDN Wonorejo IV yang terlalu sedikit, makanya ujian pun harus ‘nggabung’.

Untuk apa Sutiani repot-repot menyediakan seragam inventaris itu ? Pernahkah anda berpikir untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada orang lain selain pada anak-anak anda sendiri? Keponakan anda sendiri? Cucu anda sendiri? Pernahkah? Aku sendiri tidak pernah. Tapi Sutiani sampai kepada pemikiran tidak ingin anak didiknya merasa minder akibat ‘nunut’ ujian di sekolah lain. Karena hal itu hanya akan membuat down kepercayaan diri pada siswa sebelum ujian. Intinya, belum perang sudah kalah duluan. Aku dan anda, pernahkah berpikir hal seperti itu untuk orang lain? Adakah guru-guru di sekolah anak-anak anda yang memiliki pemikiran serupa dengan Sutiani ?

Tak hanya itu, Sutiani kok ya sempet-sempetnya mengajari siswa putri berbagai ketrampilan yang paling mendasar bagi bekal kehidupan kelak sebagai manusia dewasa. Melipat dan menyetrika baju! Bahkan aku sebagai seorang ibu akan menyuruh si Mba di rumah untuk melakukan pekerjaan itu daripada repot-repot mengajarkannya kepada putriku sendiri! Dan apa kata Sutiani tentang hal ini? Dia hanya ingin siswa di sekolahnya ‘kaya’, jadi tidak hanya memiliki kecakapan formal, namun juga kepandaian yang lain.

Dan S-E-M-U-A yang telah dilakukan Sutiani dengan senang dan seikhlas hati  … diganjar dengan gaji sebesar Rp 75.000/bulan sejak tahun 1990! Ia bahkan tidak peduli kalau baru tahun ini… tahun 2011, dirinya baru diusulkan mendapat sertifikasi guru, setelah pengabdiannya yang berpuluh tahun itu! Pekikan apa lagi yang anda miliki untuk Sutiani? Aku sih sudah kehabisan kata dan sanjungan…

Jangan salah, Sutiani itu sarjana loh… Adakah sarjana-sarjana yang banyak berlimpah di banyak kota yang memiliki perguruan tinggi, memiliki kepribadian seperti Sutiani ?? Kalau ada, surat kabar-surat kabar tidak akan melaporkan lonjakan jumlah sarjana yang kebingungan mencari lapangan pekerjaan !

Aku menangis !
Menangis pada diriku sendiri yang sempat mengenyam sekolah keguruan namun putar haluan, karena tidak ingin menjadi Sutiani !
Aku menangis !
Menangis untuk diriku sendiri yang tidak bisa menjadi sebuah lembaga, atau institusi, atau politisi, atau seseorang yang punya kendali atas negeri ini, agar seorang Sutiani bisa menjadi cermin bagi bangsaku sendiri !
Dan aku masih menangis, saat diceritakan bahwa saat ini gaji Sutiani sudah mencapai Rp 2,7 juta/bulan.

2.7 juta/bulan! Itu uang jajan gorengan untuk Ibu Melly Dee yang cantik. Itu uang yang tidak akan cukup untuk membeli batu bata bagi pembangunan gedung wakil rakyat kita. Itu uang persenan Lae Gayus bagi sesama temannya di balik jeruji besi… sesama temannya loh ya? bukan para penjaga gerbang, apalagi komandan pasukan, yang pasti milyaran…

Namun itu uang yang amat sangat besar jumlahnya untuk seorang… Sutiani …
Yang tahu caranya mencukupi diri…
Yang faham akan adab bersyukur kepadaNya Sang Maha Memberi...
Yang tak peduli meski pengabdian tak kunjung diakui…
Yang teguh berprinsip pada ketulusan hati,
tak peduli pada puja dan puji dari kami para pemerhati
Yang kukuh menjunjung tinggi kemuliaan hati
Kemuliaan sebagai hamba di hadapanNya Sang Ilahi…


~~~



(aku sangat yakin, Tuhan selalu beri more value pada orang-orang dengan value sperti Sutiani)

Thursday, March 10, 2011

Thank You For Being... YOU!


Di awal perkenalan kami, aku menelanjangi diri. Tak satupun kututupi. Sungguh ! Bahkan yang terburuk dari sifatku kubeberkan juga. Nekat !

Meski kejujuran terkadang menyakiti. Tapi inilah aku dengan segala keburukanku, kalau kau masih mau, ayo maju, kalau tidak cepatlah ambil langkah seribu.
Begitu awal komunikasiku dengannya, saat hati mulai gelisah dan berkata, ”Ni orang kayanya mau pe-de-ka-te dehh… ”

Aku tidak pernah pacaran. Makanya tidak tahu adab berpacaran… yang beradab ??
Bukan karena malas atau tidak mau melakukannya. Mau sekali, apalagi dengan banyaknya cerpen, novel dan tontonan di televisi yang terus mengkompori. Mungkin standardku terlalu tinggi, sementara aku ‘ora nginguk githok’e dhewe’ Artinya : aku berharap terlalu tinggi tanpa melihat siapa diriku ini. (Bisa jadi ??)

”Jadi, jangan berharap pertemanan antara kau dan aku akan terjadi seindah yang kau bayangkan, ”Aku masih menambahi.

Herannya, pria itu mengiyakan. Alamak !

Aku tidak tahu apa yang dilihatnya dariku hingga borok yang kupamerkan tidak menakutkannya. Padahal selama ini tanpa dipamerkan pun, banyak pria timbang pilih saat hendak mengutarakan hasratnya kepadaku. Karena kecantikan jasmani tidak dikaruniai. Materi tidak dimiliki. Ijasah pun tidak setinggi podium tempat para dosen berdiri. Dan dia bersikukuh tidak lari…  Duhh, Gusti ! (batin sesungguhnya bicara, ”matur suwun Gusti, matur suwun” Hi hi hi…)

Manusia suka sok angkuh menentukan standard akan sesuatu. Seperti kompasianer yang gemar memberi nilai aktual, inspiratif, bermanfaat, dan menarik. Banyak manusia yang juga memandang S2, paras yang rupawan, background keluarga yang mapan adalah sebuah standard. Jadi, maksudnya biarpun aku menyebut diriku jelek, sekolah ngga tinggi, materi ngga punya, tapi mana tahu hatiku terbuat dari berlian 100 karat, begitu??? Weleeh, weleeh, itu sih namanya merendahkan diri meninggikan mutu!

Tunggu dulu! Ya, ya ya aku tahu, memang segala sesuatu harus bernilai, harus ada tolak ukur, harus ada neraca, tapi ini kan lain konteksnya? (kok sewot?!) Aku tengah bicara tentang standard (kalian) yang semua dimilikinya, dan mungkin dia sadar akan hal itu, tapi mengapa dia tidak memilih seseorang yang sama standard dengannya, mengapa aku yang notabene tidak selevel. Dan aku kesal setiap orang bicara mengenai level, standard, karena semuanya dicampur-adukkan untuk hal-hal yang seharusnya dinilai dengan kejernihan nurani. Begitu lho, Bu, Pak, Teman, Saudara-saudara... Padahal Tuhan hanya minta satu saja, keimanan. Wadaouuww…, jadi ngelantur kemana-mana nih.

Benar kata mereka, aku wanita yang WAJIB bersyukur karenanya, wanita yang sangat beruntung mendapatkannya. Keberuntungan yang berjalan hingga ini hari.

Delapan tahun sudah dititi. Janji luhurnya tetap ditepati.
Aku masih tidak mengerti, mengapa anugerah ini kudapati. Engkau sungguh terlalu Baik, Gusti.

Kesabarannya tak tertandingi.
Luapan emosiku yang sering tak terkendali, even just for simply things, ditanggapinya dengan, “Udahlah Maaah, istighfar coba”

Kenakalan dua kanak-kanak penghibur rumah tangga kami pun, dihadapinya dengan amat santai dan berwibawa. “Hayo, Kakak dan Ade, salim… salim… maapan… maapan. Gantian main komputernya, berantem itu perbuatan yang tidak baik. Nanti dicatat sama malaikat Atid lho. Diajarin juga kan di sekolah?

Dan jika amarahku terluapkan karena kenakalan mereka, teguran lembutnya selalu menentramkan. Mah, mah, ngga inget apa ngeluarinnya susah. Sekarang mau dicubitin, dislenthik, dibentak-bentak. Ati-ati lho, kata-kata seorang ibu itu diijabahi Tuhan

Tak hanya itu.
Tangannya selalu ringan menggantikan sebagian pekerjaan rumah tangga yang sedikit lebih menuntut perasaan keringat, seperti ngepel, bersihin kipas angin, nguras bak mandi, nguras toren… itu loh bak penampungan air yang guuedde banget, apa sih namanya, toren kan ?

Dan satu yang amat krusial adalah iman yang tidak hanya di ‘blabber-mouth’ kan saja, tapi seiring dengan tindakan. Dia selalu bangun lebih dulu daripadaku! Sepuluh menit sebelum adzan subuh berkumandang. Langkah kakinya tak terhalang hujan gerimis, menuju masjid tak jauh dari rumah kami. Meski suaranya tak semerdu seorang qori, tapi wajib baginya ayat-ayat suci bergaung di dalam rumah lepas ba’da subuh dan maghrib.
Pernah suatu hari, kutawarkan dengan segenap keihlasan hati, demi Tuhanku Yang Maha Baik, aku jujur berkata, bahkan di awal pernikahan kami, begini, “Pak, silahkan kalau kelak Bapak ingin menikah lagi, aku ikhlas lahir batin. Bagiku, apa yang sudah menjadi firman-Nya, sabda Rasul-Nya, mutlak kuyakini. Asal Bapak ngomong, jangan sembunyi-sembunyi”

“Ngomong apaan sih Mah?, “jawabnya kala itu dengan raut tak suka, sehingga membuatku berpikir dua, ah tiga kali, untuk mengulanginya lagi.


Delapan… yang sungguh amat berartI
Delapan… yang tak henti kusyukuri, hingga nanti…

Jangan iri, karena sejujurnya aku tak enak hati
Aku bukan wanita yang pantas memperoleh itu
Aku bukan teman, tempatnya bisa berbagi kegalauan hati
Aku bukan rival yang penuh tantangan
Aku bukan kekasih yang romantis…
… yang memabukkan dengan kerling menggoda hingga ke alam mimpi
… yang mampu meletupkan gairah di malam hari

Aku cuma punya doa yang kupanjatkan tiap menit, untukmu… Pak
Dan hati yang ikhlas, lapang seluas tujuh samudera di dunia ini, bagi segenap kekurangan yang kau miliki, kini dan nanti…
Mari bersama berucap syukur atas delapan yang diridhai-Nya… (tak apa bila Bapak tidak ingat ini hari Milad Pernikahan kita)



Thank you for your truly love, guidance, patience, understanding
Thank you for being… You!




Banyak cinta dari seorang istri kepada suaminya di hari ulang tahun pernikahannya…
3 Maret 2011 / Rabiul Akhir 1432 H

Ibu Ada di Nat-Geo!






Malam kian larut.
Keheningannya berpendar melangut.
Aku terbaring di atas peraduan beralas kain lembut berwarna kuning pias, warna yang amat kupuja.

Beringsut kumiringkan posisiku.
Hingga seluruh berat badanku bertumpu hanya pada siku tangan kiriku.
Sementara telapak tanganku menopang beban kepalaku.
Tangan kananku sibuk menepuk-nepuk bokong bulat padat berisi. Puk… puk… puk… terdengar bunyinya mengikuti alunan yang menggugah jiwa dari sang maestro tautan hati, Yanni, yang berkolaborasi dengan gemericik air dari titian bambu dan berlabuh pada kendang yang bertalu, gubahan sang dewa dambaan jiwa, Kitaro.

Di sampingku terbaring mahluk yang tak terkira rupawan.
Bulu matanya yang lentik, panjang, melengkung keluar, terkatup rapat tak ada celah.
Harum tubuhnya sungguh menggoda. Menggelitik hidung hingga tak henti berkembang-kempis mengendus semerbak aromanya.
Pipinya yang putih lembut, melesak di antara ketiakku.
Bibirnya yang merah tak bosan dibenamkan dalam hangat dan kenyal, buah dadaku.

“Aah!”
“Ck…ck…ck…ck…ck!”
“Hemm… luar biasa!”

Suara separuh menggumam itu, terdengar saling bersusulan.

Perlahan kulepaskan lidahnya yang masih lekat memagut puting susuku. Amat perlahan… agar tak mengusik mimpi indahnya. Sambil berjingkat kutinggalkan dirinya usai terpuaskan dahaganya…

Di ruang tengah, duduk seorang diri, Ibuku tercinta, hanya berteman televisi yang volumenya ditekan hingga level zero, bisu.

“Tumben belum sare, Bu. Liat apaan si, Bu? Kok suaranya berentet seperti petasan orang betawi? “tanyaku sembari kuhampiri beliau.

Ibu masih terpaku menatap layar kaca datar di depannya, masih tanpa suara.

”Ooh… National Geographic. Halah… biasanya juga sinetron, ”kataku lagi sambil mendaratkan pantatku di samping Ibu.

Ternyata Ibu tengah asyik menyaksikan channel National Geographic yang menayangkan keseharian seorang fotografer dalam melakukan tugas-tugas fotografinya. Tentu bukan sembarang fotografer, hingga channel prestisius macam Nat-Geo berkenan menayangkannya sebagai tontonan berkelas dunia. Si fotografer bernama Pete, lengkapnya aku tidak tahu karena tidak mengikuti tayangan itu sejak awal, namun masih kuingat judul acaranya “Inside the White House”. Dan Pete adalah fotografer khusus yang bertugas mengabadikan setiap kegiatan yang dilakukan orang nomor satu di jagat ini, tuan presiden negara adi daya, Barrack Obama. Dari sekedar makan siang dengan kolega, pidatonya di setiap pertemuan, atau kunjungan sosial hingga lawatannya di seluruh negara.

“Pribadi yang andap asor, “Ibu bergumam sendiri saat di layar tivi nampak sang presiden dengan sabarnya bersedia di atur-atur posisinya oleh si fotografer --bahkan masih menyertakan tawa lebarnya yang amat khas-- ketika berfoto bersama dengan seluruh staff yang bertugas di dapur Gedung Putih.

“Tugas menakjubkan, yang tidak semua orang bisa memperolehnya. Orang itu benar-benar beruntung. Hidupnya berisi pengalaman yang tak dimiliki siapapun manusia di dunia ini, “kudengar komentar Ibu keluar dari mulutnya, ketika layar berganti gambar. Kali ini nampak si fotografer yang setengah tertunduk, tersenyum malu, manakala menyadari micro chip yang bersembunyi dalam kameranya tak sanggup lagi memuat memori. Sambil melepas lensa kamera itu, dan memasangkannya lagi di kamera lain yang juga tergantung di lehernya, si fotografer tak henti meminta maaf atas kejadian yang dianggapnya tidak menyenangkan itu.

“Sorry about that, Sir! It never happened before. Sorry about that!, “begitu yang bisa kudengar lamat-lamat dan dari gerak bibirnya. Habis Ibu keukeuh tidak mau menambah volume suaranya sih!

Sang presiden tergelak dan berlagak menegurnya dengan setengah menggoda.

“Kok bisa sih? Di depan National Geographic yang khusus menayangkanmu lagi! Good job, Pete”
Itu saja yang sedikit dapat kucerna, karena teks bahasa Indonesianya tak muncul-muncul juga.

Sempat ku tersipu mendengar ledekan sang presiden, dan kulirik Ibu, seraya tanganku mendekap bantal.

Kini pandanganku utuh beralih ke Ibu.
Menatap mata Ibu yang berbinar penuh kekaguman dan celetuk ucapannya di setiap pergantian gambar. Sorot matanya yang tajam, membuatku semakin menyadari betapa sesungguhnya Ibu memiliki kualitas lebih dibanding ibu-ibu di kampong kami. Ibu tidak seperti Bu Sumpri, Bu Wartam, Bu Wiryo bahkan Bu Doso yang katanya guru merangkap ketua er-te di lingkungan kami.

Ibu tak hanya pencetus ide bagi sebagian besar kegiatan yang pernah dilakukan di kampung kami. Ibu tak hanya motivator bagi POKJA (kelompok kerja) yang dipimpinnya dan berhasil unggul di antara pokja-pokja lain dalam satu er-we!
Ibu yang tak pernah kehabisan ide kreatif di setiap permasalahan yang dihadapinya.
Ibu yang berkata lantang tentang kebersihan di lingkungannya.
Ibu yang tegas berkata, “Stop buang sampah ke kali, bila kalian tak ingin kali menghakimi perbuatan kalian!”
Ibu yang berani merintis kegiatan hadroh (semacam kesenian dengan tetabuhan rebana mengiringi senandung islami) untuk pertama kali di kampung kami.
Ibu yang tak pernah tumbang akan bertubi fitnah dan kecaman dari tetangga yang tak suka melihat kecerdasan Ibu yang deras terpancar bagai air ledeng keluar dari kran.
Ibu yang tak gentar menyeberangi lautan demi memperjuangkan kelayakan bagi kehidupan anak-anak yang telah dilahirkannya…

“Si Sentot wis lali ta?, “suara Ibu membuyarkan lamunanku.

Sampun Bu. Tadi sehabis menyusu setengah jam penuh. Sampe badanku pegel, miring terus, “jawabku sambil buru-buru menutup mulutku yang menguap lebar karena kantuk yang akhirnya tiba.

Ibu beranjak tertatih, agaknya terlalu lama duduk membuat uratnya melintir, atau tulang sepuhnya yang menjerit ngilu. Dibukanya sejenak pintu kamarku, selimut Sentot yang tersingkap dirapikan. Sempat kulihat senyum simpul di bibirnya yang berwarna keunguan, melihat betis gempal Sentot tersembul seperti batang singkong yang dikupas kulitnya.

”Sugeng sare, Bu. Istirahat, ”aku berkata.

Ibu tidak menjawab, hanya bergumam sesuatu seperti dengung keletihan yang kali ini tidak disembunyikan, kemudian melenggang dan menutup rapat pintu kamarnya…

'Kelopak' Laila dan 'Pertunangan Palsu' Jessica [Kenangan Sepanjang Masa]


Aku yakin, setiap insan di dunia ini pasti pernah memiliki satu kenangan yang amat sangat membekas dalam hati, hingga kenangan itu kekal meski usia terus berjalan. Kenangan tak pernah mengenal batasan, bahkan sebuah noktah yang tak berharga dapat menjadi satu kenangan indah bagi insan yang lain. Apalagi sebuah buku, yang kata orang buku adalah jendela hati. Dan jendela hatiku tetap setia menjaga kenangannya pada buku berikut ini.

Sebuah buku bisa memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pembacanya, terutama pembaca seperti diriku, yang cengeng, rapuh dan sentimental. Ada satu buku yang pernah kubaca saat masih remaja ‘kinyis-kinyis’ dulu. Judul buku itu adalah ‘Kelopak-kelopak Yang Berguguran’ yang ditulis dengan sangat baik oleh Leila Salikha Chudori.

Begitu terkesannya diriku dengan buku tersebut hingga interpretasi yang kuciptakan sendiri tak lekang dimakan waktu, utuh hingga detik ini pun. Terkadang interpretasi itu berkembang jauh, hingga tipikal sosok perempuan dalam setiap cerita yang akan, dan telah kutulis nyaris tak jauh dari karakter utama dalam buku itu. Terlampau jauh bahkan, hingga aku merasa karakter itu adalah gambaran akan diriku sendiri. Karena aku merasa begitu sangat terwakili dengan setiap detil pada karakter yang digambarkan oleh sang penulis. Anak jaman sekarang, akan menyebutku… Lebay! Tapi itulah mengapa sejak awal sudah kusebutkan bahwa sebuah buku sekecil apapun fisik buku itu, ia dapat meninggalkan kesan mendalam yang kan terkenang sepanjang masa.

Ceritanya, apalagi kalau bukan tentang cinta, topik abadi yang tak kan lekang walau era berubah di tiap peradaban. Tapi buatku, Leila sangat lihai, amat piawai dalam memainkan hati remajaku yang mudah goyah oleh jalinan kata yang manis dan menggelitik.

Kalau tidak salah ingat (maklum, sudah lewat dua puluh tahunan sejak pertama kali aku membacanya), isinya tentang seorang gadis bernama Noni yang terpaksa harus tinggal dengan sahabat ayahnya sesuai pesan terakhir sang ayah sebelum wafat. Di rumahnya yang baru Noni kemudian bertemu dengan Greggy, putra dari sahabat ayahnya itu (Pak Maryono, barangkali namanya. Mau lihat referensi di Google malas, khawatir ide yang sedang menggelegak di kepala musnah seketika bila tidak segera dituangkan ^^). Intinya Noni kemudian pergi karena kehadirannya tidak disukai Greggy ditambah lagi dengan kecemburuan pacarnya Greggy. Tak dinyana Greggy terpukul dengan kepergiannya itu lalu blab la bla… lupa! (otakku perlu di-upgrade rupanya). Pokoknya asyik, kalau penasaran silahkan hunting, dan bila berhasil menemukan buku jadul itu, tolong hubungi aku, karena aku bersedia dengan suka cita untuk meminjamnya…^^
Ingin sekali bisa mengupas tuntas tentang novel pendek terfavoritku sepanjang masa itu. Namun karena referensinya mustahil kutemukan di jam-jam menjelang menina-bobokan anak-anakku, saat ini, maka menyesal sekali dan maaf cintaku, Mba Leila, aku hanya bisa menuliskan apa yang masih terkenang dan sanggup terekam oleh otak bodohku.

Dan bila ‘Kelopak-kelopak Yang Berguguran’ berhasil mengoyak kerapuhan hati remajaku, maka buku yang sanggup mengaduk masa dewasaku adalah (novel lagi nih!) buku yang ditulis oleh Jessica Hart, penulis kelahiran Afrika Barat yang beruntung sekali bisa travelling around the world, pernah loh ke Indonesia (sayang ngga mampir ke rumahku ^^).

Dulu sewaktu masih rutin mendapat upah, hasil kerjaku mencangkul di sebuah perusahaan multinasional, aku sering menghabiskan after office-ku di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kotaku. Bukan ke cafĂ©, lantas buka notebook, sibuk memelototi screen biru, sambil menikmati secangkir starbucks, bukan! Aku tidak sekeren itu. Lariku hanya satu, toko buku Gramd! Di situlah kutemukan sebuah buku mungil bertajuk ‘Temporary Engagement’.

Ceritanya tentang seorang gadis asal Inggris yang dipanggil Flora. Dia tak kuasa menolak bujukan sahabatnya, Paige untuk menggantikan tugasnya sebagai sekretaris pribadi atau PA (Personal Assistant) seorang multi jutawan bernama Matt, yang terkenal dengan kepribadiannya yang sulit, dan sampai saat ini hanya Paige yang mampu bertahan bekerja untuknya. Flora bersedia menerima pekerjaan itu karena gaji yang menggiurkan dan dengan pertimbangan situasi financial yang tengah mendesaknya, serta bujuk rayu Paige yang tak kuasa ditolaknya dengan mengatakan bahwa pekerjaan ini hanya sementara saja sampai ibunya Paige sembuh dari penyakit yang dideritanya. Dan tentu saja karena Paige tahu betul, Flora tidak akan pernah berminat mengambil alih posisinya, karena ambisi terbesar Flora adalah terbang menjelajahi setiap sudut di dunia.

Singkat cerita, seperti dikatakan dalam pepatah Jawa ‘witing tresno jalaran soko kulino’, Flora dan Matt saling jatuh meski dengan banyak kendala.

Sejak -Chapter One- hingga yang terakhir -Chapter Ten-, hatiku terus tak henti berdegup. Itu hal yang … Lebay? Bukan, itu karena synopsis dan feeling-ku yang biasanya lumayan tajam mengendus fiksi-fiksi romantis yang mendebarkan ^^. Aku bahkan melipat beberapa halaman, yang di dalamnya terdapat kalimat-kalimat yang sungguh mampu menciptakan gelegak tertentu dalam relung hati. Tujuannya agar tiap kali mood sedang meluncur turun, aku buka halaman itu. Lumayan bisa sejenak mengangkatku ke awang-awang ^^. Semangat lagi. Itulah pesona sebuah buku. (Ada yang nyeletuk; kok bukan kitab suci yang kau buka jika sekedar ingin mengobati hati?)

Mungkin akan lebih mengena dengan mengkonsumsi buku itu sendiri, karena penjelasanku pastilah tak kurang menonjolkan mutu. Tapi sedikit yang bisa kubagi dari beberapa yang membuatku ‘semriwiiing’, seperti berikut ini;

Chapter One:
Halaman 9, Matt tengah meng-interview Flora. Kekecewaannya di awal pertemuan berangsur melumer…
…Matt found himself looking into a pair of direct, dancing blue eyes and he was conscious of an odd jolt of surprise. Suddenly she didn’t look ordinary at all.
Kesan pertama memang tidak selalu menggoda. Terkadang butuh waktu untuk memperkaya pendalaman akan karakter seseorang. Tak kenal maka tak sayang… ^^


Chapter Two:
Halaman 24, masih dengan gayanya yang straight forward dalam berbicara, sambil ngobrol ngalor-ngidul dalam pesawat jet pribadi, Flora dan Matt tengah mengupas misi sukses mereka dalam menghadapi klien dari Perancis.
‘You know what I mean, ‘she said, brushing the detail side as unimportant. ‘You’ve got to fill a well-paid post for three months, and I need a job that pays well for three months. You need someone who speaks French; I speak French. She spread her hands expressively.
‘We’re made for each other, darling!’ she joked.
There was an odd little silence. Flora was sure she could bear her words echoing around the cabin…made for each other…made for each other, darling…’What a stupid thing to say!
‘In a manner of speaking,Flora buru-buru menambahi…
Aduh, aku tak pernah menahan senyum simpulku tiap membaca kalimat itu.

Chapter Three:
Halaman 49, debar-debar sehalus apapun itu, mulai menyusupi labirin di hati Flora…
… That was what Flora told herself, but as soon as Matt had gone she found herself – well, missing him. Somehow the office seemed muted and colorless without him. Whenever the phone rang she found herself hoping that it would be his voice at the other end, even if it was only to issue yet another stream of orders, and when he walked into the office three days later she was ridiculously pleased to see him…

Namun situasi berubah sulit ketika ibunda Matt datang, Matt harus berpura-pura bahwa Flora adalah tunangannya… (ya ya, sedikit mirip dengan drama korea atau sinteron kita, tapi yang ini dikemas dengan bahasa dan tutur yang ciamik ^^). Dan Flora terpaksa menerima situasi itu demi menyelamatkan muka di hadapan teman-teman semasa kuliahnya yang mengira Matt adalah pria yang akan dibawanya di acara reuni para alumni.

Chapter Four:
Halaman 78,
‘Why don’t you just tell your mother that you don’t believe in marriage?’
Because it wouldn’t be true. It’s because I believe in it that I won’t get married unless I’m sure I’ve found the woman I want to spend the rest of my life with. I’m not prepared to get married for the sake of it, only to get divorced a couple of years later if it doesn’t work out.
Not for the first time, Flora found herself wishing those cool eyes weren’t quite so keen. She shrugged, and concentrated on crumbling a roll between her fingers.
..... ‘At least I know you won’t get emotionally involved, ‘said Matt.
Flora looked down at the roll in her hands and suddenly realized that she didn’t want it. She dropped onto the side plate.


Chapter Five:
Flora memang bersedia pura-pura menjadi tunangan Matat di depan ibunya. Tapi ada galau yang menyesakkan hati yang tak dapat dihindari…

She couldn’t keep her eyes off his mouth, off his hands, off the line of his jaw and the breadth of his shoulders. He was near enough to touch. She could lean over and curl her fingers around his, and she had to keep her feet tucked behind her chair to stop them sliding suggestively against his legs. She tried to concentrate on what he was saying, but talking about where Matt might have kissed her only made her wonder what it would have been like if he had. What that cool, severe mouth have felt as exciting as it looked? Would she have leant against his hard body and felt his arms close around her?
Flora swallowed hard. She had to stop this!

Sampai suatu hari, tibalah hari dimana Flora akan datang ke acara reuni, bersama Matt seperti yang disombongkannya selama ini di hadapan teman-temannya itu.

Flora leant towards the mirror to put on her lipstick just as the door buzzed. Her heart lurched into her throat so suddenly that her hand jerked, smearing lipstick all over her cheek. Heart hammering, she searched frantically for a tissue to wipe it off, while along the corridor she could hear Sarah opening the door. Even though she was expecting it, the sound of Matt’s deed American voice made her freeze and her chest tightened in panic.
Her hand was shaking so much that she was left with a decidedly wavery line at her next attempt to put on her lipstick, but it was too late to do anything about it. Flora wiped her palms on her dress and forced herself to take a deep breath, before jerking open the bathroom door and walking straight down the corridor and into the sitting room before she had time to change her mind.
The first –the only—person she saw was Matt, sitting on the lumpy sofa, and she stopped dead. He looked devastating. The formal dinner jacket with a crisp white shirt and bow-tie threw his severe dark feature and pale eyes into striking relief, and as he got to his feet Flora was so overwhelmed by the sight of him suddenly there that she forgot to breathe.

Dimly she was aware of Jo saying something, but she didn’t even notice the others. She was conscious only of Matt, of his height, of the hard solidity of his body, of the smile that seemed to reach inside her and squeeze her heart.

‘Flora…,’Matt’s voice sounded as if it was coming from somewhere outside him. After the last few weeks of being annoyed by the way Flora’s image kept distracting him at the most inappropriate moments, he was still totally unprepared for the way she looked. He had grown accustomed to the demure, rather dull clothes she had worn in the office since his scathing moments about her outfit on the plane. He was used to the way she pulled her hair sensibly away from her face, unlike the first time he had seen her when the wind had tangled it into a haphazard mess.
He had never seen her like this before, her eyes huge and dark and blue, her hair falling in a tumble of gold and honey to her shoulders, vibrant in s shimmering dress that revealed he warmth of her skin and the fullness of her breasts and the heart-shaking line of her throat.

Jo and Sarah regarded her with affectionate amusement.
‘We’ve never seen Flora in love like this before!, ‘Sarah told Matt. ‘She even tidied the sitting room for you, and now she can’t even talk… It must be serious!’
Flora squirmed on the sofa, her face afire. If this terrible evening ever ended, she would kill her friend! She could feel Matt watching her profile.
‘I hope so, ‘Matt said softly.

As if pulled by some invisible force, Flora’s head turned to face him. He was smiling, and the green eyes were warmer than she had ever seen them before. They held hers for a timeless moment while the chatter and the laughter faded around them and left them marooned on the sofa, where nothing existed but the feel of his fingertips smoothing tantalizingly over her back and the sound of her heart booming in her ears.

Cerita tentang Matt dan Flora saat berada ballroom, dan bagaimana keduanya sepakat membangkitkan kecemburuan Seb, mantan pacar Flora, atau tentang bagaimana sulitnya mengendalikan perasaan yang sesungguhnya di antara dua manusia dewasa itu…, dituturkan dengan sangta lembut oleh Jessica. Entah karena ditulis dalam bahasa Inggris yang interpretasinya bisa seluas samudra bila dibandingkan dengan terjemahan yang kadang tidak tepat, kurang mengena, ataukah aku yang memang… lebay? Tapi sungguh tak dapat dipungkiri lagi bahwa dengan style-nya sendiri, Jessica benar-benar mampu menggiring pembacanya kepada halimun yang menghanyutkan. Tidak vulgar, tidak kasar, tidak jorok, tidak parno, dan yang pasti urusan asmara antara dua manusia dewasa benar-benar dikemasnya dengan apik.

Belum lagi, ketika ibu Matt benar-benar hadir di hadapan keduanya, sehingga tak ayal lagi, kepura-puraan itu tak terelakkan berubah menjadi suatu keharusan berakting layaknya dua kekasih yang saling jatuh cinta. Yang lucu adalah ketika Nell, ibu Matt, sejak awal sebenernya sudah mengendus gelagat yang tidak semestinya antara putranya Matt dengan Flora, namun berlagak kura-kura dalam perahu, dengan harapan bahwa akting palsu itu kelak menjelma menjadi jalinan asmara yang sesungguhnya.

Chapter Six:
Di sini banyak hal menarik untuk diungkapkan, tapi aku khawatir text-nya akan dianggap ‘amerika sekali’ oleh pembaca yang agamis. Untuk konsumsi pribadi memang sah-sah saja. Tapi kalau melibatkan khalayak, memang harus disikapi dengan bijak. Jadi maaf, bila tidak dapat seutuhnya mengutip cerita tentang romansa Matt dan Flora dalam text asli.

Sedikit yang dapat kuringkas adalah cerita tentang Flora yang terpaksa harus menginap di rumah Matt, demi menegaskan akting mereka di depan Nell. Dan momen-momen yang serba kikuk dan lucu saat keduanya berada dalam satu kamar, tentu seiring kerling mata Nell yang awas, jeli dan penuh selidik.

Chapter Seven:
Apa bumbu dari sebuah kisah asmara kalau bukan rasa cemburu yang membakar. Di chapter ini, Flora dilanda cemburu berat akan mantan pacar Matt yang seorang fotomodel terkenal, Venezia. Demikian juga Matt yang terbakar dengan anggapan bahwa Flora masih menyimpan Seb dalam kehidupannya. Cemburu yang sungguh seru. Sakit tapi nikmat. Nikmat dalam sakit. Panas tapi tak mau beranjak. Hatiku bahkan nyaris tersulut oleh apinya, kalau tidak buru-buru kuteguk air dingin satu jar penuh! ^^


Chapter Eight:
Untuk lebih meyakinkan ibunya, Matt kian disudutkan pada keadaan yang mengharuskannya berakting lebih, meski dirinya dan Flora masih dirundung kecewa, marah, dan cemburu.
‘I think I’d better get you a ring today, ‘Matt broke the silence on their way to work the next morning. I get the feeling Mother’s not quite as convinced by our engagement as she pretends to be. Maybe a few diamonds will do the trick.’

‘I’ll give it back to you as soon as your mother goes, of course, ‘Flora made herself say when were outside once more.
‘That ring is absolutely gorgeous. You’re a lucky girl, Flora, ‘Nell was twinkling across the table at Flora.
‘I hope she’s thanked you properly?’ Nell was teasing Matt, and, succumbing to temptation, he brushed his thumb along Flora’s jaw.

‘Now you come to mention it, I don’t think she has, ‘Matt said softly, and allowed himself to look deep into the warm blue eyes. They might have been alone together in the room. ‘Do you really like it?’ asked her, and Flora could almost believe that it mattered to him.

‘I love it, ‘she said. ‘Thank you.’
And then, because the words sounded pitifully inadequate, because it was what a real fiancée would do, because it was what she really wanted to do, Flora lifted her hand to his cheek, then let her fingers slide to his neck so that, when she leant into him, she could tug his head down and kiss him.

She meant just to press her lips to the side of his mouth, but once there she couldn’t bear to let him go, and then Matt turned his head and their lips met with a shock of feeling that was part thrill, part recognition, a bizarre sense of familiarity, as if they had been stumbling around in the dark and had at last found their way back to where the belonged.

Matt’s mouth felt so warm, so sure, so exciting, so right that Flora melted into his kiss, her hand creeping round to the nape of his neck to pull him closer, and when they broke for breath they could stare at each other, shaken off balance by the piercing sweetness they had shared.

Nell was looking very satisfied.

Kemudian Nell yang semula berencana tinggal lebih lama bersama Matt, tiba-tiba memutuskan pergi ke Italy menemui koleganya. Berharap proses selanjutnya dapat berjalan lebih alami yang kan membuat keduanya benar-benar jatuh cinta, bukan terdesak karena sebuah perjanjian.

They had both done such a good job of pretending to ignore the tension that had been simmering between them since that heart-shaking kiss in the restaurant. It hadn’t been hostile or snappy, like before, but more of tingling awareness of every move the other made. The laughter had shattered it, but now here it was again, gathering strength, strumming over their skin and pulsing through their veins.

‘Well…’Matt forced himself to look away first. ‘It looks as if it’s just us this evening. Would you like to go out to dinner?’

‘I’m not really hungry, ‘said Flora truthfully.
‘Nor am I’. There was another awkward pause, and then, inevitably, they both spoke at the same time.

‘I might -------‘
‘Perhaps -------‘
They both stopped. ‘You first, ‘said Matt.
‘I was just going to say that I might have a shower, ‘she said hesitantly. ‘If that’s all right with you?’
‘Of course, ‘Matt looked around him as if in search of inspiration. ‘I was going to offer you a drink, and then I thought I might do some work. I’ve got some reports I need to read. You could watch television, if you wanted.’

The air was so charged with electricity that Flora felt as if every breath set off a chain of tiny sparks. The silence between them was intense, and she was sure that Matt would be able to hear her body beating, aching, thundering with desire. She would explode if she had to sit here any longer!

Unable to stand the tension, Flora got jerkily to her feet. ‘I…… I think I’ll go to bed, ‘she said, appalled to hear how high and strained her voice sounded.
Matt rose instinctively to face her. ‘Isn’t it your book any good?’
‘I…… can’t concentrate on it, ‘she said breathlessly.
‘I can’t concentrate either, ‘said Matt.
‘Oh?’ managed Flora rather waveringly.
‘Do you want to know why?’
‘Why?’ she whispered, as hope began to drum along her veins at the expression in his eyes, and the space around them shrank until there was just the two of them and a need that was too insistent to be ignored any longer.
‘Because I can’t stop thinking about what it felt like to kiss you today, ‘said Matt, his voice so deep it sent reverberations through her. ‘Because I can’t stop thinking about kissing you again.’

Flora couldn’t speak. She felt as if all the air had been sucked out of her body, as if the floor beneath her feet had cracked apart and the slightest movement would send her tumbling into an abyss that was at once terrifying and tantalizing and utterly irresistible.

All she could do was look back at Matt, and, reading the answering need in her face, he walked, very slowly, towards her. Slowly he reached out, and slowly he tugged the cardigan from her shoulders and won, until it fell unheeded in a soft, crumpled pile behind her.
‘But then I think that it wouldn’t be a good idea after all, ‘he went on softly although his hands were drifting back up her bare arms, his fingers caressing the warmth of her skin. He could feel Flora quivering beneath his touch. ‘What do you think?’ he asked her wickedly.

‘We should forget this, then, ‘said Matt in her ear.
‘I know, ‘Flora whispered against his temple.
‘We should stop, ‘she breathed, and felt the crease in his cheek as he smiled again.
‘The only thing is, ‘he said huskily, just brushing her mouth with his own, ‘the thing is, Flora… I don’t think I can stop now!’
‘I’ll stop if you want, though, Flora, ‘he whispered. ‘Is that what you want?’

She should say yes. She should push herself away from him before she was utterly lost. Yes – that was all she had to say.
‘No, ‘she said, putting her arms around his waist and succumbing at last to the terrible temptation to lean against him for support.
‘No, I don’t want you to stop.’

Chapter Nine:
Sedikit rintangan di tengah kecamuk cinta yang membara antara Matt dan Flora. Matt yang seorang tycoon tak luput dari pemberitaan media yang kadang sengaja mengesampingkan realita. Dan tentunya tak ada rahasia di dunia ini, sekecil apapun rahasia itu. Persoalan datang ketika akhirnya pertunangan palsu itu diketahui Nell, yang sebenarnya sudah tahu tapi berharap itu berakhir nyata, namun media telanjur membocorkannya. Dan itu sedikit banyak terjadi akibat ulah Seb yang masih memendam rasa kepada Flora.

Chapter Ten:
Prasangka seringkali membutakan logika. Demikian yang terjadi pada Matt. Prasangka akan persekongkolan Flora dan Seb atas masalah yang jor-joran menjadi headline di seluruh Inggris Raya. Cemburu buta, dan phobia-nya akan cinta yang berujung kepahitan membuatnya tak dapat berpikir jernih, bahkan seorang tycoon adalah manusia juga, yang bisa blank saat dihadapkan pada masalah hati.

Sudahlah yaa, pokoknya happy ending deh. Ya ya, oke, oke, aku tetap lanjut deh. Jadi singkatnya Flora merasa tersakiti hatinya, terus pergi menurutkan kata hatinya untuk keliling dunia. Tiket pesawatnya menuju sebuah pulau di New Zealand, tapi baru transit dari Bandara Soetta, tau-tau seseorang menepuk pundaknya…

‘Flora!’ There was someone beside her, a hand touching her arm.

Flora froze. It sounded like Matt, but it couldn’t be him…could it? She turned her head slowly, fearfully, bracing herself for the blow of discovering that it wasn’t him at all, and her heart stopped. There he stood, tall and dark and powerful. The same uncannily light green eyes, the same fierce brows, the same cool, severe mouth that had turned her bones to honey. No one else had a mouth like that.
It was Matt. It was him!

‘Matt? ‘Flora’s voice was barely more than a thread, and her knuckles stood out white where she gripped the trolley for support in a world that suddenly staggered around her.
‘Wh-what are you doing here?’ she moistened her lips.

‘I had to see you, ‘said Matt, oblivious to the fact that they were standing right in the middle of the exit and that other passengers were having to manoeuvre their trolleys past them with difficulty.
‘I had to explain, to apologize ----‘ He broke off and closed his eyes in defeat.
‘God, I just had to see you, ‘he admitted. ‘I’ve missed you so much, Flora. I had to see you and tell you how much I loved you.’

Weyy..he he he he…. Benar kan happy ending?

‘I love you, I love you, I love you, ‘he told her in a ragged voice. ‘I can’t believe I’m holding you again at last. It’s all I’ve thought about since you walked out that day. I’ve come halfway round the world to find you, Flora, ‘he said. ‘Say you love me too’

‘I do, I do, ‘Flore wept, kissing his throat, his jaw, any bit of him she could reach.

Wuuu…huh huh … begitu deh. Apa? Masih mau lagi ? Sudah selesai, Bro. Habis tu mereka berdua ngga jadi kemana-mana, karena pesawat yang ke New Zealand juga udah take-off. Cinta keduanya pun berlabuh di jembatan Ancol. Ngapain ke New Zealand, kata Matt. Di sono lagi gempa, udeh sini aje, nyang deketan…. Wekekekekeke.kkkkkk….

Thank you for reading!



(Maret dini hari; demi penulis pujaan hati ^^)